Rumah Pemikiran.

Catur, Renungan 19012019.

Oléh: Yusni Tria Yunda.

Dalam masa - masa penjualan lagi sulit, penghématan biaya operasional, tentulah harus dilajukan secara éfisién. Hal ini terutama dialami oléhku pada saat bekerjasama di Pengobatan Tradisional, yang mana aku menjadi salahseorang tenaga pemasarnya secara offline.

Ménu - ménu makanan yang cukup mengenyangkan, namun mempunyai HÉT yang lebih kecil daripada ménu - ménu makanan lainnya pada saat sama, sering kukonsumsi di tempat - tempat penyebaran (spreading) brosur kertas iklan pengobatan.

Konsumsi atas aytem - aytem hal makruh, roko, oléh sebab harus melakukan penghématan biaya operasional, kulakukan dengan cara membeli dan mengkonsumsi tembakau beserta kertas papiernya, sebagai yang diutamakan. Adapun apabila lagi ada lebih anggaran, maka membeli dan mengkonsumsi roko pabrikan secara écéran, dapatlah dilakukan.

Konsumsi makanan padat pada pagi dan  siang hari, sering kubeli bala - bala, batagor, serta makanan ber-HÉT terjangkau nishob saat itu, daripada membeli kuliner jadi dari pedagang makanan siap saji. Tentu, bajétnya kan minim, sedangkan keperluan atas aytem - aytem harus dibagi - bagi secara bijakdana dan bijaksana.

Sehubungan belum signifikannya hasil dari sistem bagi hasil dari kerjasama usaha yang kulakukan pada saat itu (2017/2018), maka, meskipun aku telah melakukan penghématan habis beneran, tetap saja aku ta dapat melakukan kiriman nafkah hadhonah yang memadai kepada kedua anak - anak kandungku, yang Hak Asuhnya lagi di tangan Ibu Kandungnya, mantan istri pertamaku.

Apakah hal ini ta menggelisahkanku?.

Tentu saja aku gelisah, dan oléh sebab itu, maka akupun mencoba menambah cara mendapatkan sumber pendapatan dari séktor lain diluar bidang kerjasama jasa memasarkan pengobatan tradisional, namun dilakukan pada saat yang bersamaan dengan bidang jasa tersebut.

Aku mencoba berjualan pula. Aytem késéd majun adalah yang sering kupilih guna diperdagangkan. Dan tentunya, dalam kondisi nishobku saat itu, ini ra mudah mengalokasikan dan mengadakan aytem késéd pada saat itu.

Secara téhnik operasional pengadaan, aku harus berjalan kaki di antara 2 (dua) kecamatan guna mengadakan suplaynya. Kalau aku naik angkutan publik, dana guna pembelian aytem akan berkurang sehubungan dipakai ongkos transportasi. Sedangkan kendaraan pribadi, sepéda, pada saat itu lagi dijaminkan kepada Pa Ustadz Amang, sehubungan aku hendak belajar ilmu ngajinya, namun belum mempunyai sejumlah uang yang cukup guna imbal jasa atas bimbingannya.

Kalau tenaga terkuras, itu jelas. Sebab, siangnya menyebar brosur secara berjalan kaki, dan malamnya belanja serta mengirim aytem késéd secara berjalan kaki pula.

Hal ini masih mending, sebab Abah Yaya Suhaya, pemilik aytem késéd sekaligus produksinya, memberikan keringanan sistem pembayaran secara angsuran. Down Payment secukupnya, dan sisanya dapat dibayar kalau telah ada Pos Kas yang memadai, ataupun kalau aytem tersebut telah laku terjual dan menghasilkan Laba Bersih yang memadai. Namun hal tersebut jarang terjadi. Seringnya aku justru membayar pelunasan atas sisa Hutang Dagang tersebut bukan dari hasil akad pembelian aytem tadi, melainkan dari jalur Pos Pendapatan Lain - Lain, yang mana bentuknya bisa merupakan pemberian - pemberian dari pihak - pihak lain (diluar pihakku sebagai pembeli, dan pihak Abah Yaya sebagai penjual), ataupun dari bagi hasil séktor jasa Pengobatan Tradisional.

Hal inilah yang justru sering terjadi pada pengalamanku, sehingga aku tiba pada suatu langkah membenarkan kesimpulan para `ulama tashowuf bahwa hakékat dari setiap rezeki yang dinikiki adalah dari Alloh, bukan dari hasil usaha kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar