Rumah Pemikiran.

Catur, Renungan 19012019.

Oléh: Yusni Tria Yunda.

Waktu ini, malam. Sholat Isya baru kudirikan. Aga terlambat. Sibuk melakukan percobaan - percobaan dengan Hand Phoneku. Prinsipnya, sih, harus bermanfaat, setiap aktiva yang lagi ada padaku. Dan telah beberapa belas hari dan malam aku melakukan aktivitas informatika ini.

Aktivitas lainnya?.

Ya, inilah yang kini lagi kupikirkan saat ini. Telaah tadinya hendak melakukan penggarapan selanjutnya dari percobaan membuat tampilan - tampilan bagi blogku. Namun banyak hal membuatku berpikir sejenak, bahwa ini belum tentu dapat menjadi suatu jalan muamalah yang memadai dalam waktu dekat ini. Sedangkan aku telah menjalani durasi kehidupanku pada 3,5 taunan ini dalam status duda, tanpa pos pendapatan yang memadai, sedangkan pos pengeluaran, tentunya selalu ada.

Apakah aku ta melakukan usaha - usaha lagi?.

Banyak. Aku telah melakukan banyak percobaan dan prakték usaha, baik secara sendirian, ataupun bekerja sama secara sistem bagi hasil. Dan hasilnya, ga pernah lebih dari cukup. Maka, jangankan berbicara langkah - langkah pelunasan hutang - hutangku, sedangkan sumber pendapatan saja ta memastikan titiknya ada di mana. Bukan maksud menganggurkan diri, sebab setiap haripun aku bekerja, hanya saja berbéda dengan cara - cara kerja yang pernah kutempuh selama sebelum 3,5 taun yang lalu.

Aku ga menyalahkan peristiwa perceraianku dengan perempuan - perempuan yang pernah menjadi istriku, sehingga membuat kehidupanku selalu kembali berantakan, harus menata ulang, berantakan lagi, menata lagi. Kalau bosan, sih, tentunya sering mengalami.

Itulah pula maka, pada sejak taun tengah taun 2015 hingga taun 2018, kegiatan - kegiatan muamalahku banyak merambah berbagai séktor, dari mulai berdagang écéran, melakukan sistem konsinyasi, bermitra dengan perusahaan yang telah "éstablish", serta dengan beberapa usaha perorangan, juga bekerja dengan sistem gaji, semuanya kulakukan pada masa - masa itu. Namun, nishob rata - rata ta pernah dapat kucapai.

Banyak variabel yang membuatnya demikian, dan variabel kondisi psikologis, seperti status pernikahan serta posisi berkeluargaku, bukan termasuk salahsatu yang menentukan langsung terhadap kelancaran ékonomi. Hanya saja, secara motivasi serta kenyamanan psikis, mémang sangat berpengaruh. Ibaratnya bermain catur tanpa Perdana Menteri (Ster), sementara lawan mempunyai formasi bidak catur yang lengkap. Sangat ta seimbang.

Dikurangi lagi kekuatan itu dengan ta pernah tuntasnya setiap menjalani prosés dalam bidang - bidang usaha. Artinya, tulang punggung perèkonomian diriku benar - benar dirapuhkan di luar dan di dalam, secara psikologis, dan secara ékonomi.

Apa yang salah?.

Dulu sempat kuberpikir bahwa keadilan dalam bermuamalah perlu ditegakkan. Pemahamanku seperti ini: kalau di suatu tempat telah ada temanku (sesama pedagang), yang telah_lagi berjualan di titik itu dengan mengusung aytem yang sama ataupun sejenis dengan aytem yang kuperdagangkan, maka aku lebih memilih jalan tengah, dengan salahsatu dari beberapa kemungkinan berikut.

Apabila posisi permodalan ataupun sistem jual beli yang ditawarkannya kuat kujalankan, maka aku ta segan membeli produk - produknya, lalu menjualkannya di tempat - tempat (titik - titik) lain, yang mana tida atau belum digarapnya, dan kami berkoordinasi terlebih dahulu mengenai hal tersebut.

Dengan demikian, akulah yang menjadi nomaden, berpindah - pindah titik penjualan. Dalam prosés tersebut, tentunya waktu dan konséntrasiku dikeluarkan cukup banyak, dalam suatu adaptasi baru, dan baru lagi. Belum lagi pengukuran - pengukuran terhadap pos - pos biaya, terutama Biaya Operasional dan Biaya Susut, yang mana pada saat - saat itu seringkali muncul terlebih dahulu sebelum penjualan terjadi. Dan kalaupun terjadi penjualan (barang persediaan yang kustok laku), namun nilai Laba Kotornya selalu tergerus banyak oléh sebab prosés - prosés tadi.

Mengaji rasa orang lain, sesama rékan profési, inilah yang pertama kali selalu kuperhatikan. Ta memberi, namun setidanya kehadiranku ta mengurangi bagian garapan sumber rizqiynya. Begitu prince-civil_ku.

Kalau dalam bidang perdagangan independén, hal ini berlangsung hingga ahir taun 2016 Maséhi. Sebab, pada taun 2017 hingga pertengahan taun 2018, kulepaskan penggarapan kegiatan perdagangan, dan mulai fokus kepada sesuatu yang transéndéntal, juga berkaitan dengan pembenahan aspék psikologis dan réligiusitas.

Pada taun 2017 - 2018_pun, di tengah - tengahnya kuisi dengan beberapa kegiatan jasa, yaitu bekerjasama dengan beberapa usaha perorangan, terutama bidang pengobatan tradisional. Aku memposisikan diri dalam bagian memasarkan.

Adapun hasil yang kudapatkan secara akuntansi dari séktor ini, mémang sangat sulit guna dibukukan, oléh sebab prinsip mengaji rasa yang serupa perdagangan tadipun kuaplikasikan di dalam séktor ini. Kalau ada pengunjung yang datang (terlepas dari jadi atau tidanya berobat), mayoritas adalah yang bukan dari jalur yang kumarketingi, sehingga akupun merasa ta berhak guna turut meminta bagian atas jasaku, yang baru saja dilakukan.

Dalam hal inilah, aku mendapat adanya kebenaran atas pendapat salahseorang seniorku, mengenai adanya indikasi riba dalam sistem gaji, bahwa masih mending seperti aku ini yang menjalankan sistem bagi hasil, terutama apabila dalam situasi usaha lagi seperti tadi: ga ada pendapatan khusus yang dari jalurku. Meskipun, aku sering bertanya dalam do`aku: kenapa Alloh belum menghadirkan rezeki yang memadai bagiku dari séktor - séktor tersebut?.

Akan tetapi, kelegaanku adalah bahwa sangat beruntung, sebab aku ga digaji, sedangkan ongkos sehari - hari, konsumsi, dan tempat, ditanggung oléh pemilik usaha pengobatan. Apa jadinya apabila aku menjalankan sistem digaji?, tentu akan sangat malu, meskipun umumnya: sistem itulah yang sangat dimaklumi oléh orang - orang. Ya, pada nishob usaha tertentu, mungkin métodeu mengambil rataan gaji dari perolèhan tiap - tiap bidang kontribusi, dapat dan wajar dilakukan. Namun tentunya ta semua usaha berposisi nishob yang setara dalam waktu yang sama.

Dan akupun tetap merasa ditantang oléh pendukung pendapat bahwa sistem gaji adalah riba. Maka, aku selalu pertahankan pengajuan - pengajuan sistem bagi hasil, dan tentunya hal ini menambah hutang, oléh sebab: sebelum ada hasil, beberapa keperluanku yang harus dipenuhi, diperolèh dengan cara diberi ataupun ngutang terlebih dahulu, baik kepada pelaku usaha yang bermitra denganku itu, ataupun kepada pemilik produk yang mana aku hutang kepadanya.

Apakah aku nyaman bertahan dengan pola seperti itu?.

Pada saat itu, anak - anak kandungku, diberi rezeki oléh Alloh melalui usaha Ibu Kandungnya serta néné dari pihak Ibu Kandungnya tersebut. Dan oléh sebab akupun lagi belajar dzikir, aku selalu menanggapi setiap gejala, baik kelemahan ataupun kelebihan dari makhluk - makhluk, sebagai ketetapan Alloh yang tentunya mempunyai maksud - maksud sangat baik dengan adanya itu semua. Bukan guna mendzolimi makhluk - makhlukNya.

Maka, hal pertama yang kusimpulkan dari fénoména lemahnya posisi ékonomiku sebagai seorang Ayah bagi anak - anakku, adalah tantangan psikologis réligius, yang mana aku dilatih guna peka menghubungkan segala sesuatunya dengan Alloh, bahwa ta ada daya dan upaya tanpa izin dan dengan kehendakNya. Hal inilah yang membuat géngsiku terbuang jauh, dan pada tempatnya. Mantan istri, bukanlah sosok pesaing bisnis, juga bukanlah perebut perhatian anak - anakku, melainkan ialah sebagai partner, yang mem_back-up ku di saat produk produk kami ini ta mampu kutanggungjawabi secara keseluruhan keperluannya.

Setelah prosés meluruhkan segala géngsi yang berkenaan dengan finansil-keayahan, aku meluruhkan géngsiku yang berkaitan dengan finansil-inteléktual. Dalam setiap pergaulan, aku ta pernah menyembunyikan idéntitas - idéntitas akademikku, dan malas berpura - pura pintar, apalagi berpura - pura bodoh.

Apa adanya: kalau ga tau, maka bertanya, kalau ditanya, maka menjawab, meski kadang kala sering pula aku menjelaskan hal yang ditanyakan orang lain (kelak, pada taun 2018/2019 ini, hal tersebut kusadari sebagai salahsatu éfék dari belajar dzikir, yang mana jiwa menjadi sangat peka, dan mengetaui pesan - pesan yang ta diperlihatkan oléh pihak yang memberi pesan. Semacam komunikasi bathin.). Dan sebenarnya hal ini telah terjadi pula pada taun 2017, yang mana aku berdialog dengan kucing (oléh anakku diberi nama: Luna), lalu menemukan inspirasi mengenai rékonstruksi terjadinya srjarah tulisan Mesir Kuno (Hieroglyph).

Intinya, sepanjang 3,5 taun ini, telah banyak hal dan pengalaman yang kualami, namun belum tersistematisasikan datanya. Juga berbagai pengetauan dan ilmu baru, yang ta pernah kudapatkan dengan métodeu - métodeu yang kuketaui sebelumnya. Setidanya, jejak - jejak postingan status dan fail - fail gambarku di akun Facebook kepunyaanku yang hendak kutunggalisasikan terahir ini, beberapa hal penting telah diinput di sana. Dan dibandingkan dengan di Blogger, saat itu aku mémang lebih aktif di Facebook.

... .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar